Senin, 15 Mei 2017

Sejarah Ilmu Tauhid

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “wujud Alloh”, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya : juga membahas tentang para Rosul Alloh, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkan kepada diri mereka.
Sebabnya dinamakan “ilmu tauhid” karena sifat “wahdah” (satu) bagi Alloh dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Ia sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan besar bagi kebangkitan Nabi SAW, seperti ditegaskan oleh ayat-ayat Kitab suci, yang akan diterangkan kemudian.
Kadang juga dinamakan “Ilmu Kalam” ialah karena dalam memberikan dalil tentang pokok (usul) agama, ia lebih menyerupai logika (mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli pikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendirinya. Kemudian diganti orang Mantiq dengan Kalam. Karena pada hakikatnya keduanya adalah berbeda.
Akidah Islam sesuai dengan dalil Akal dan Naqli adalah ilmu yang menetapkan keyakinan (akidah) dan menjelaskan tentang ajaran yang dibawa oleh para Nabi, telah dikenal juga oleh bangsa-bangsa sebelum Islam, karena tiap-tiap bangsa mempunyai pemimpin-pemimpinnya sendiri, yang berusaha menegakkan urusan agama, menjaga dan mengukuhkannya.
Dengan adanya ketentuan mengenai hukum akal, dan terdapatnya ayat-ayat Mutasyabihat didalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan jalan peluang bagi mereka yang suka berpikir, terutama karena panggilan agama, untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, terutama karena panggilan agama, untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, tidak terbatas oleh suatu pembatasan dan tidak pula dengan sesuatu syarat apapun, karena mengerti, bahwa segala pemikiran yang benar akan membawa kepercayaan terhadap Alloh, menurut sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan tidak terlalu menganggap sepi dan tidak pula membatasi pikiran itu.
Masa Kesatuan Paham telah berlalu zaman Nabi SAW dimana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhat. Dua orang Khalifah sesudah beliau, berjuang sepanjang umurnya melawan mush-musuh islam, sambil tidak ada sedikit pun peluang bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutik-utik dasar kepercayaan (akidah) yang telah berkembang dengan baik.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang menimpa khalifa yang ketiga (Usman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya khalifah itui, sejak terjadinya peristiwa itu, maka rusak binasalah sokoguru (tiang agung) khalifah. Namun demikian, Al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya, berdiri dengan jaya di tempatnya semula.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami (Alloh) yang menurunkan Al-Qur’an, dan kamilah yang memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr/15: 9)
Peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga itu, telah membuktikan pintu bagi manusia untuk melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama. Karena khalifah sesungguhnya terbunuh dengan cara yang tidak sesuai sama sekali dengan hukum syara’. Maka timbullah dihati orang banyak, nafsu-nafsu perseorangan, utama sekali dikalangan orang-orang yang tidak ada pengaruh Iman dalam hati mereka. Sehingga dendam dan kemarahan menguasai pikiran kebanyakan orang, lebih-lebih terhadap orang yang keterlaluan (fanatik) dalam agama.
Kegiatan Abdullah bin Saba’, permulanya timbulnya bdi’ah tentang akidah diantara orang-orang yang giat bekerja melancarkan fitnah ke sana-sini, adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang masuk islam. Dengan berpura-pura terlalu fanatik mencintai Ali Karamallahu Wajhahu (senoga Tuhab memuliakan wajah beliau), ia mendakwahkan, bahwa Ali-lah sebenarnya yang berhak menduduki kursi Khalifah unuk itu, ia menyerang Khalifah Usman dengan amat sengitnya, sehingga menyebabkan ia dibang khalifah Usman. Kemudian ia pergi ke kota Basrah, dan meniupkan Fitnah besar.
Kemudian pada Zaman pemerintahan Ali, dengan cara yang amat mencolok, ia mempropagandakan pendidiriannya, sehingga Ali terpaksa membuangnnya ke Madain. Namun  begitu, pendiriannya itu telah merupakan benih dari segala sengketa yang terjadi disamping pendirian-pendirian yang sangat fanatik.
Lahirnya golongan Syia’ah dan Khawarij yang manimbulkan pertikaian diantara mereka adalah “ikhtiar”, kebebasan kemauan manusia dan perbuatannya dengan ikhtiar itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa besar, sedang ia tidak tobat. Dalam masalah tersebut, Hasan al-Basni Wasil kemudian memisahkan diri dari gurunya, yang lantas mengajarkan pokok-pokok Agama, baikyang diterimanya dari gurunya maupun pendapat sendiri, bahwa seorang hamba, bebas melakukan perbuatan-perbuatannya yang ditimbulkan oleh ilmu dan kemauannya. Golongan Jabbariyah membantah pendapat itu dan berpendirian bahwa manusia dalam segela kehendak perbuatannya tak ubahnnya seperti rantig-ranting pohon kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.
Semua kejadian itu berlangsung, sedang pihak pemerintah Bani Maran tampaknya tidak ada keinginan untuk turut menyelesaikan atau mengajak mereka untuk bersama-sama mencari titik perteemuan, yang dapt memberikan kepuasan semua pihak. Akhirnya semua golongan berjalan sendiri-sendir menurut kehendak hati masing-amsing, kecuali Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah ini memerintahkan kepada az-zuhri supaya membukukan (kodifikasi) segala hadits yang sampai kepadanya, dan ternyata beliaulah orang pertama yang menghimpunkan hadits.
Lahirnya kaum Mu’tazilah sekitar masa inilah tumbuhnya “Ilmu Tauhid” , tetapi belum begitu sempurna berkembangnnya dan belum begitu tinggin mulutnya, dan mulailah pembicaraan tentang “Ilmu Kalam”, yakni dengan menghubungkannya kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an tentang itu.
Pendirian yang pertama dikuatkan oleh segolongan dari khalifah-khalifak Abbasiyah, sedang keyakinan yang kedua, yakni yang mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu “azali” , dipegang teguh oleh sekelompok yang bersandar pada nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
Kaum Kebatinan  ditengah-tengah situasi yang timbulnya sengketa diantara golongan-golongan yang memperturutkan golongan moderat atau golongan yang teguh kepada lahir syariat belaka. Akan tetapi, namun semuanya sepakat mengenai satu ketentuan, bahwa segala hukum agama wajib dipatuhi, baik yang berkenaan dengan soal-soal ibadat, mu’amalat, ataupun kerohanian.
Komentar mereka sangat berlebihan dan memutar balikan amal lahir menjadi rahasia batin. Kitab suci, mereka tafsirkan semaunya, jauh dari nas ayat dan menyimpang dari mestinya. Mereka dikenal sebagai kaum “Kebatinan” (Bathiniyah), atau “Ismailiyah”. Pendirian mereka di segala lapangan merusak agama, menggocangkan keyakinan-keyakinan, menimbulkan fitnah dan huru-hara yang termahsyur.
Syekh Abu Hasan al-Asy’ary pendiriannya dinamakan “Mahzhab ahli Sunnah wal Jama’ah” Akhirnya lenyaplah dari hadapan ulama-ulama terkemuka tadi dua macam unsur kekuatan yang besar. Pertama, kekuatan dari pihak orang-orang yang berpegang teguh kepada lahir (letelijk) ayat dan hadits; Kedua, kekuatan dari pihak orang-orang yang gemar kepada dugaan-dugaan (hipotesis) pikiran belaka. Dua abad kemudia, kedua macam golongan itu sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa kelompok kecil yang terdapat di pinggir-pinggir negeri Islam.
Tujuan akhir dari ilmu ini adalah menegakkan suatu kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu mengenal Alloh yang maha Tinggi dengan segala sifst-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya. Membenarkan para Rasul-Nya dengan keyakinan yang dapat menentramkan jiwa, dengan jalan berpegang teguh kepada dalil, bukan semata-mata menyerah kepada taklid buta, sesuai dengan yang ditunjukan oleh Al-Qur’an kepada kita.
Al-Qur’an melarang kita Taklid kepada apa yang diceritakan oleh para leluhur tentang hikayat-hikayat bangsa purba, dan perbuatan demikian itu sangat dicela oleh Al-Qur’an. Dan benarlah ucapan yang mengucapkan: “Bahwa Taklid  itu, sebagaimana ia terdapat dalam perkara yang hak, ia terdapat dalam hal bahwa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan sendiri merasa keberatan terhadapnya, karena memang taklid itu tidak dapat membawa kemajuan kepada umat manusia”.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts