Kamis, 18 Mei 2017

Kritik Al-Ghazali terhadap para filosof


Al-Ghazali mempelajari filsafat kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang di majukan filosof-filosof itulah yang merupakan kebenaran. Bagi al-Ghazali, argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat. Menurut keyakinannya, ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhirnya ia mengambil sikap menentang terhadap filsafat. Di waktu inilah ia mengarang bukunya yang bernama Maqasid al-Falasifah (pemikiran kaum filosof) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1145 M, oleh Dominicus Gundassalimus di Toledo dengan judul Logica et Philosophia Algazelis Arabis. Dalam buku ini ia menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat, terutama menurut Ibn sina. Sebagaiman dijelaskan sendiri oleh al-Ghazali dalam pendahuluan, buku itu dikarang untuk kemudian mengkritik dan menghacurkan filsafat. Kritikan itu datang dalam bentuk buku yaitu Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filosof atau the incoherence of the philosopher).
                Sebagaimana halnya ilmu kalam, dalam filsafat al-Ghazali juga menjumpai argumen-argumen yang tidak kuat. Akhirnya, dalam tasawwuf ia memperoleh apa yang dicarinya. Setelah terasa merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyah Baghdad di tahun 1095 M. Dan pergi ke Damascus untuk bertapa di salah satu menara Masjid Umawi yang ada di sana. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus pada tahun 1105 M. Dan meninggal di sana tahun 1111 M.
                Tasawwuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu dirinya. Dalam Tasawwuf, ia memperoleh keyakinan yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini al-Ghazali mengatakan :
                “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan. Siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen. Hal semacam itu sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas....Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang”.[1]
                Dengan demikian satu-satunya pengetahuan  yang menimbulkan keyakinan akan kebenaranhya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan. Sebagaimana di jelaskan di atas, al-Ghazali tidak percaya pada filsafat, bahwa memandang filosof-filosof sebagai ahl al-bida’, yaitu tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Didalam Tahafut al-Falasifah,  al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat berikut :
 Tuhan tidak mempunyai sifat.
Tuhan mempunyai subtansi basit  (sederhana; simple) dan tidak mempunyai mahiah (hakikat,  quiddity).
  Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (perincian, particulars ).
 Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis; genus) dan al-fasl (differentia)
Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
 Jiwa planet-planet mengetahuin semua juz’iyat.
Hukum alam tidak dapat berubah.
Pembangkitan jasmani tidak ada.
Alam ini tidak bermula.
Alam ini kekal
Tiga dari kesepuluh pendapat di atas, menurut al-Ghazali, membawa kepada kefukuran, yaitu sebagai berikut :
Alam kekal dalam arti tidak bermula.
 Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam
Pembangkitan jasmani tidak ada

Pendapat bahwa alam kebal dalam arti tidak bermula tak dapt diterima dalam teologi Islam. Dalam teologi, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo).
Kaum awam dengan akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk (al-mau’izah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedang kamum ahli dekat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).[2]
                Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama. Oleh karena itu, apa yang yang dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda-beda, berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan khawas, sebaliknya, membaca yang tersiarat.




[1] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma’arif 1966), h, 96-97.
[2] Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Nahl (16): 125

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts