Selasa, 30 Mei 2017

The Only Living Sahabi


Pohon yang disebut pohon Nabi ini ditemukan setelah Pangeran Ghazi bin Muhammad yang baru kembali dari belajar di Universitas Camridge setelah ditugaskan oleh sang paman, Raja Hussein, untuk bekerjadi pepustakaan Kerajaan.

Pohon yang terletak di wilayah Safawi Provinsi Zarqa, Yordania inilah yang diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad SAW bertemu dengan pendeta Buhaira.
Tiga manuskrip kuno yang ditulis oleh Ibn Jarir al-Tabari menceritakan tentang kisah yang bertemu dengan bocah kecil calon rasul terakhir.

Saat itu Muhammad baru berusia 9 atau 12 tahun. Beliau menyertai pamannya Abu Thalib dalam perjalanan untuk berdagang ke negeri Syam, negara Suriah saat ini.
Suatu hari, pendeta Bahira mendapat firasat, kalau ia akan bertemu dengan sang nabi terakhir. Tiba-tiba ia melihat rombongan kafilah pedagang arab, dan melihat pemuda kecil yang memiliki ciri-ciri sesuai yang digambarkan dalam kitabnya.

Kemudian Bahira mengundang kafilah tersebut dalam sebuah pejamuan, kecuali anak yang ia tunggu-tunggu. Ternyata Muhammad kecil sedang menunggu dibawah pohon untuk menjaga unta-unta.

Bahira keluar mencarinya dan ia sangat takjub menyaksikan cabang-cabang pohon Sahabi merunduk melindungi sang pemuda dari terik matahari. Dan segumpal awal pun ikut memayungi kemanapun Ia pergi. Bahira pun meminta agar bocah kecil tersebut diajak serta berteduh dan bersantap dalam perjamuan. Dia pun segera meneliti dan menanyai pemuda kecil ini dan menyimpulkan bahwa Dia utusan terakhir yang dijelaskan dalam Alkitab.

Pendeta itu lantas memberi tahu Abu Thalib bahwa anak kecil yang turut dalam rombongannya (Nabi Muhammad) kelak akan menjadi Nabi. Pendeta Buhaira berpesan agar Abu Thalib menjaga Nabi Muhammad.

Perihal Kisah ini juga dituliskan oleh ahli sejarah islam, Ibnu Hasyim, dalam bukunya Al-Sirah al-Nabawiyah. Ibn Sa'd al-Baghdadi, dan Muhammad Ibn Jarir al-Tabari.

Sumber: detik.com 
Share:

Minggu, 28 Mei 2017

Tujuan Dakwah

Tujuan dakwah adalah menjadikan manusia muslim mampu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan menyebarluaskan kepada masyarakat yang mula-mula apatis terhadap Islam menjadi orang yang suka rela menerimanya sebagai petunjuk aktivitas duniawi dan ukhrawi.
Kebahagiaan ukhrawi merupakan tujuan final setiap muslim. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan
penuh optimis melaksanakan dakwah.
Oleh karena itu seorang da`i harus memahami tujuan dakwah, sehingga segala kegiatannya benar-benar mengarah kepada tujuan seperti dikemukakan di atas. Seorang da`i harus yakin akan keberhasilannya, jika ia tidak yakin dapat menyebabkan terjadinya penyelewengan-penyelewengan di bidang dakwah.
Sejarah perjuangan umat Islam dalam menegakkan panji-panji Islam pada dasarnya seluruh golongan dalam Islam sepakat memperjuangkan dan merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan umat manusia. tetapi kenyataan menunjukkan hal yang berlawanan. Berubah kepada pencapaian kekuasaan golongannya sendiri sehingga menimbulkan persaingan dan pertentangan di antara golongan itu sendiri. Dalam masalah bisnis terlihat adanya transaksi yang sering menguntungkan di satu pihak sementara pada pihak lain dirugikan. Inilah akibat yang ditimbulkan oleh orang yang tidak memahami hakikat perjuangan suci.
Disinilah letaknya mengapa tujuan dakwah itu perlu diperjelas agar menjadi keyakinan yang kokoh untuk menghindari terjadinya salah arah. Tujuan dakwah hakikatnya sama dengan diutusnya nabi Muhammad saw. membawa ajaran Islam dengan tugas menyebarluaskan dinul haq itu kepada seluruh umat manusia sesuai dengan kehendak Allah swt.
Berikut akan diuraikan tentang tujuan dakwah :
  • Mengajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik) kepada jalan yang benar agar dapat hidup sejahtera di dunia maupun di akhirat.
  • Mengajak umat Islam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah swt.
  • Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.
  • Menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang gawat yang meminta segera penyelesaian dan pemecahan.
  • Menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi sewaktu-waktu dalam masyarakat.
Jadi inti dari tujuan yang ingin dicapai dalam proses pelaksanaan dakwah adalah keridhaan Allah swt. dimana obyek dakwah tidak hanya terbatas kepada umat Islam saja, tetapi semua manusia bahkan untuk semua alam. Dari sudut manapun dakwah itu diarahkan, maka intinya adalah amar ma`ruf nahyi munkar yang bertujuan untuk merubah dari sesuatu yang negatif kepada yang positif, dari yang statis kepada kedinamisan sebagai upaya merealisasikan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dasar Hukum Dakwah

kewajiban berdakwah merupakan kewajiban yang bersifat taklifi dari Allah kepada umat-Nya, agar apa yang menjadi tujuan Islam dapat tercapai. Karena sifatnya taklifi dan qat’i, maka jelaslah bahwa dasar hukum dakwah pastinya berasal dari sumber utama hukum Islam yaitu Al-Qur’an dah Hadis. Dalam hal ini, seluruh ulama telah bersepakat mengenai wajibnya berdakwah. Akan tetapi yang masih menjadi perdebatan diantara meraka adalah, apakah kewajiban tersebut bersifat ainiyah (wajib bagi setiap individu muslim) atau sekedara wajib kifayah (kewajibannya gugur manakala sudah ada salah seorang yang melakukan).

Terlepas dari kontradiksi di atas, mengenai dasar hukum dakwah telah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an maupun Rasulullah dalam hadisnya. Adapun ayat Al-Qur’an yang menjelaskan dasar hukum dakwah yaitu sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

Surah An-Nahl ayat 125: 

ادْعُ إِلِى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
 
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Surah Ali Imron ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

Selain ayat di atas, dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh imam Muslim juga disebutkan mengenai kewajiban dakwah. Adapun matan hadis tersebut adalah sebagai berikut:

مَنْ رَاَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَاِنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْاِيَمَانِ

“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya (kekuatannya), apabila ia tidak mampu (mencegah dengan tangan) maka hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan apabila (dengan lisan) ia juga tidak mampu maka hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan yang demikian ini adalah selemah-lemahnya iman.”

Berdasarkan ayat di atas, para ulama yang menyatakan bahwa hukum dakwah adalah wajib ainiyah (wajib bagi setia individu), maka mereka mendasari argumen mereka sebagaimana ayat di atas; yakni pada lafal (ادع) yang berarti serulah merupakan fiil amar (kata kerja perintah) yang mana dalam kaidah usul fikihnya, amar menunjukkan wajib selagi belum ada dalil yang melarang atau yang menyelisihinha. Argumen ini sebagaimana dalam usul fikih berikut:

الأمر للوجوب الا ما دل الدليل على خلافه

Jadi ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam Surah An-Nahl ayat 25 tersebut jelas menunjukkan wajibnya berdakwah. Begitu pula pada ayat selanjutnya yakni dalam Surah Ali Imran ayat 104karena lafal (والتكن) jelas menunjukkan wajib karena terjapat lam amar (lam yang berarti perintah).

Sedangkan sebagian ulama yang berpendapat bahwa hukum dakwah adalah wajib kifayah; yakni kewajiban tersebut gugur manakala sudah ada salah seorang yang melakukannya. Sebagai satu contoh, dalam suatu desa banyak pemda yang gemar mabuk-mabukan, akan tetapi diketahui sudah ada pihak pengurus masjid setempat yang telah menasehati dan memperingatkan mereka bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang haram dan dilarang oleh agama, maka dengan demikian masyarakat muslim yang lain sudah tidak lagi berkewajiban mengingatkannya. Inilah yang dikehendaki dengan wajib kifayah.

Para ulama yang manghukumi wajib kifayahnya dakwah yaitu mengambil pengertian dari menurut sebagian ulama ini beradHal ini didasarkan pada kata “منكم” yang berfaidah “lit tab’id” atau bermakna sebagian. Yakni yang dimaksud adalah “sebagian masyarakat muslim“ tidak seluruhnya. Argumentasi ini sebagaimana dijelaskan oleh Zamaksyari.



Share:

Kamis, 18 Mei 2017

Kritik Al-Ghazali terhadap para filosof


Al-Ghazali mempelajari filsafat kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang di majukan filosof-filosof itulah yang merupakan kebenaran. Bagi al-Ghazali, argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat. Menurut keyakinannya, ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhirnya ia mengambil sikap menentang terhadap filsafat. Di waktu inilah ia mengarang bukunya yang bernama Maqasid al-Falasifah (pemikiran kaum filosof) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1145 M, oleh Dominicus Gundassalimus di Toledo dengan judul Logica et Philosophia Algazelis Arabis. Dalam buku ini ia menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat, terutama menurut Ibn sina. Sebagaiman dijelaskan sendiri oleh al-Ghazali dalam pendahuluan, buku itu dikarang untuk kemudian mengkritik dan menghacurkan filsafat. Kritikan itu datang dalam bentuk buku yaitu Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filosof atau the incoherence of the philosopher).
                Sebagaimana halnya ilmu kalam, dalam filsafat al-Ghazali juga menjumpai argumen-argumen yang tidak kuat. Akhirnya, dalam tasawwuf ia memperoleh apa yang dicarinya. Setelah terasa merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyah Baghdad di tahun 1095 M. Dan pergi ke Damascus untuk bertapa di salah satu menara Masjid Umawi yang ada di sana. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus pada tahun 1105 M. Dan meninggal di sana tahun 1111 M.
                Tasawwuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu dirinya. Dalam Tasawwuf, ia memperoleh keyakinan yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini al-Ghazali mengatakan :
                “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan. Siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen. Hal semacam itu sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas....Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang”.[1]
                Dengan demikian satu-satunya pengetahuan  yang menimbulkan keyakinan akan kebenaranhya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan. Sebagaimana di jelaskan di atas, al-Ghazali tidak percaya pada filsafat, bahwa memandang filosof-filosof sebagai ahl al-bida’, yaitu tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Didalam Tahafut al-Falasifah,  al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat berikut :
 Tuhan tidak mempunyai sifat.
Tuhan mempunyai subtansi basit  (sederhana; simple) dan tidak mempunyai mahiah (hakikat,  quiddity).
  Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (perincian, particulars ).
 Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis; genus) dan al-fasl (differentia)
Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
 Jiwa planet-planet mengetahuin semua juz’iyat.
Hukum alam tidak dapat berubah.
Pembangkitan jasmani tidak ada.
Alam ini tidak bermula.
Alam ini kekal
Tiga dari kesepuluh pendapat di atas, menurut al-Ghazali, membawa kepada kefukuran, yaitu sebagai berikut :
Alam kekal dalam arti tidak bermula.
 Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam
Pembangkitan jasmani tidak ada

Pendapat bahwa alam kebal dalam arti tidak bermula tak dapt diterima dalam teologi Islam. Dalam teologi, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo).
Kaum awam dengan akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk (al-mau’izah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedang kamum ahli dekat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).[2]
                Sebagai filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi manusia kedalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama. Oleh karena itu, apa yang yang dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda-beda, berbeda menurut daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan khawas, sebaliknya, membaca yang tersiarat.




[1] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Cairo: Dar al-Ma’arif 1966), h, 96-97.
[2] Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Nahl (16): 125

Share:

Senin, 15 Mei 2017

Sejarah Ilmu Tauhid

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “wujud Alloh”, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya : juga membahas tentang para Rosul Alloh, meyakinkan kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkan kepada diri mereka.
Sebabnya dinamakan “ilmu tauhid” karena sifat “wahdah” (satu) bagi Alloh dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Ia sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan besar bagi kebangkitan Nabi SAW, seperti ditegaskan oleh ayat-ayat Kitab suci, yang akan diterangkan kemudian.
Kadang juga dinamakan “Ilmu Kalam” ialah karena dalam memberikan dalil tentang pokok (usul) agama, ia lebih menyerupai logika (mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli pikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendirinya. Kemudian diganti orang Mantiq dengan Kalam. Karena pada hakikatnya keduanya adalah berbeda.
Akidah Islam sesuai dengan dalil Akal dan Naqli adalah ilmu yang menetapkan keyakinan (akidah) dan menjelaskan tentang ajaran yang dibawa oleh para Nabi, telah dikenal juga oleh bangsa-bangsa sebelum Islam, karena tiap-tiap bangsa mempunyai pemimpin-pemimpinnya sendiri, yang berusaha menegakkan urusan agama, menjaga dan mengukuhkannya.
Dengan adanya ketentuan mengenai hukum akal, dan terdapatnya ayat-ayat Mutasyabihat didalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan jalan peluang bagi mereka yang suka berpikir, terutama karena panggilan agama, untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, terutama karena panggilan agama, untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, tidak terbatas oleh suatu pembatasan dan tidak pula dengan sesuatu syarat apapun, karena mengerti, bahwa segala pemikiran yang benar akan membawa kepercayaan terhadap Alloh, menurut sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan tidak terlalu menganggap sepi dan tidak pula membatasi pikiran itu.
Masa Kesatuan Paham telah berlalu zaman Nabi SAW dimana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhat. Dua orang Khalifah sesudah beliau, berjuang sepanjang umurnya melawan mush-musuh islam, sambil tidak ada sedikit pun peluang bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutik-utik dasar kepercayaan (akidah) yang telah berkembang dengan baik.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang menimpa khalifa yang ketiga (Usman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya khalifah itui, sejak terjadinya peristiwa itu, maka rusak binasalah sokoguru (tiang agung) khalifah. Namun demikian, Al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya, berdiri dengan jaya di tempatnya semula.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami (Alloh) yang menurunkan Al-Qur’an, dan kamilah yang memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr/15: 9)
Peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga itu, telah membuktikan pintu bagi manusia untuk melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama. Karena khalifah sesungguhnya terbunuh dengan cara yang tidak sesuai sama sekali dengan hukum syara’. Maka timbullah dihati orang banyak, nafsu-nafsu perseorangan, utama sekali dikalangan orang-orang yang tidak ada pengaruh Iman dalam hati mereka. Sehingga dendam dan kemarahan menguasai pikiran kebanyakan orang, lebih-lebih terhadap orang yang keterlaluan (fanatik) dalam agama.
Kegiatan Abdullah bin Saba’, permulanya timbulnya bdi’ah tentang akidah diantara orang-orang yang giat bekerja melancarkan fitnah ke sana-sini, adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang masuk islam. Dengan berpura-pura terlalu fanatik mencintai Ali Karamallahu Wajhahu (senoga Tuhab memuliakan wajah beliau), ia mendakwahkan, bahwa Ali-lah sebenarnya yang berhak menduduki kursi Khalifah unuk itu, ia menyerang Khalifah Usman dengan amat sengitnya, sehingga menyebabkan ia dibang khalifah Usman. Kemudian ia pergi ke kota Basrah, dan meniupkan Fitnah besar.
Kemudian pada Zaman pemerintahan Ali, dengan cara yang amat mencolok, ia mempropagandakan pendidiriannya, sehingga Ali terpaksa membuangnnya ke Madain. Namun  begitu, pendiriannya itu telah merupakan benih dari segala sengketa yang terjadi disamping pendirian-pendirian yang sangat fanatik.
Lahirnya golongan Syia’ah dan Khawarij yang manimbulkan pertikaian diantara mereka adalah “ikhtiar”, kebebasan kemauan manusia dan perbuatannya dengan ikhtiar itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa besar, sedang ia tidak tobat. Dalam masalah tersebut, Hasan al-Basni Wasil kemudian memisahkan diri dari gurunya, yang lantas mengajarkan pokok-pokok Agama, baikyang diterimanya dari gurunya maupun pendapat sendiri, bahwa seorang hamba, bebas melakukan perbuatan-perbuatannya yang ditimbulkan oleh ilmu dan kemauannya. Golongan Jabbariyah membantah pendapat itu dan berpendirian bahwa manusia dalam segela kehendak perbuatannya tak ubahnnya seperti rantig-ranting pohon kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.
Semua kejadian itu berlangsung, sedang pihak pemerintah Bani Maran tampaknya tidak ada keinginan untuk turut menyelesaikan atau mengajak mereka untuk bersama-sama mencari titik perteemuan, yang dapt memberikan kepuasan semua pihak. Akhirnya semua golongan berjalan sendiri-sendir menurut kehendak hati masing-amsing, kecuali Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah ini memerintahkan kepada az-zuhri supaya membukukan (kodifikasi) segala hadits yang sampai kepadanya, dan ternyata beliaulah orang pertama yang menghimpunkan hadits.
Lahirnya kaum Mu’tazilah sekitar masa inilah tumbuhnya “Ilmu Tauhid” , tetapi belum begitu sempurna berkembangnnya dan belum begitu tinggin mulutnya, dan mulailah pembicaraan tentang “Ilmu Kalam”, yakni dengan menghubungkannya kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an tentang itu.
Pendirian yang pertama dikuatkan oleh segolongan dari khalifah-khalifak Abbasiyah, sedang keyakinan yang kedua, yakni yang mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu “azali” , dipegang teguh oleh sekelompok yang bersandar pada nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
Kaum Kebatinan  ditengah-tengah situasi yang timbulnya sengketa diantara golongan-golongan yang memperturutkan golongan moderat atau golongan yang teguh kepada lahir syariat belaka. Akan tetapi, namun semuanya sepakat mengenai satu ketentuan, bahwa segala hukum agama wajib dipatuhi, baik yang berkenaan dengan soal-soal ibadat, mu’amalat, ataupun kerohanian.
Komentar mereka sangat berlebihan dan memutar balikan amal lahir menjadi rahasia batin. Kitab suci, mereka tafsirkan semaunya, jauh dari nas ayat dan menyimpang dari mestinya. Mereka dikenal sebagai kaum “Kebatinan” (Bathiniyah), atau “Ismailiyah”. Pendirian mereka di segala lapangan merusak agama, menggocangkan keyakinan-keyakinan, menimbulkan fitnah dan huru-hara yang termahsyur.
Syekh Abu Hasan al-Asy’ary pendiriannya dinamakan “Mahzhab ahli Sunnah wal Jama’ah” Akhirnya lenyaplah dari hadapan ulama-ulama terkemuka tadi dua macam unsur kekuatan yang besar. Pertama, kekuatan dari pihak orang-orang yang berpegang teguh kepada lahir (letelijk) ayat dan hadits; Kedua, kekuatan dari pihak orang-orang yang gemar kepada dugaan-dugaan (hipotesis) pikiran belaka. Dua abad kemudia, kedua macam golongan itu sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa kelompok kecil yang terdapat di pinggir-pinggir negeri Islam.
Tujuan akhir dari ilmu ini adalah menegakkan suatu kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu mengenal Alloh yang maha Tinggi dengan segala sifst-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya. Membenarkan para Rasul-Nya dengan keyakinan yang dapat menentramkan jiwa, dengan jalan berpegang teguh kepada dalil, bukan semata-mata menyerah kepada taklid buta, sesuai dengan yang ditunjukan oleh Al-Qur’an kepada kita.
Al-Qur’an melarang kita Taklid kepada apa yang diceritakan oleh para leluhur tentang hikayat-hikayat bangsa purba, dan perbuatan demikian itu sangat dicela oleh Al-Qur’an. Dan benarlah ucapan yang mengucapkan: “Bahwa Taklid  itu, sebagaimana ia terdapat dalam perkara yang hak, ia terdapat dalam hal bahwa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan sendiri merasa keberatan terhadapnya, karena memang taklid itu tidak dapat membawa kemajuan kepada umat manusia”.
Share:

Popular Posts