Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “wujud
Alloh”, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh
disifatkan kepada-Nya : juga membahas tentang para Rosul Alloh, meyakinkan
kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka dan
apa yang terlarang menghubungkan kepada diri mereka.
Sebabnya dinamakan “ilmu tauhid” karena sifat “wahdah”
(satu) bagi Alloh dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam
seluruhnya dan bahwa Ia sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan
penghabisan besar bagi kebangkitan Nabi SAW, seperti ditegaskan oleh ayat-ayat
Kitab suci, yang akan diterangkan kemudian.
Kadang juga dinamakan “Ilmu Kalam” ialah karena dalam
memberikan dalil tentang pokok (usul) agama, ia lebih menyerupai logika
(mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli pikir dalam menjelaskan
seluk beluk hujjah tentang pendirinya. Kemudian diganti orang Mantiq dengan
Kalam. Karena pada hakikatnya keduanya adalah berbeda.
Akidah Islam sesuai dengan dalil Akal dan Naqli adalah
ilmu yang menetapkan keyakinan (akidah) dan menjelaskan tentang ajaran yang
dibawa oleh para Nabi, telah dikenal juga oleh bangsa-bangsa sebelum Islam,
karena tiap-tiap bangsa mempunyai pemimpin-pemimpinnya sendiri, yang berusaha
menegakkan urusan agama, menjaga dan mengukuhkannya.
Dengan adanya ketentuan mengenai hukum akal, dan
terdapatnya ayat-ayat Mutasyabihat didalam Al-Qur’an, maka hal itu
merupakan jalan peluang bagi mereka yang suka berpikir, terutama karena
panggilan agama, untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, terutama karena
panggilan agama, untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, tidak terbatas oleh
suatu pembatasan dan tidak pula dengan sesuatu syarat apapun, karena mengerti,
bahwa segala pemikiran yang benar akan membawa kepercayaan terhadap Alloh,
menurut sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan tidak terlalu
menganggap sepi dan tidak pula membatasi pikiran itu.
Masa Kesatuan Paham telah berlalu
zaman Nabi SAW dimana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi
pelita dalam kegelapan syubhat. Dua orang Khalifah sesudah beliau,
berjuang sepanjang umurnya melawan mush-musuh islam, sambil tidak ada sedikit
pun peluang bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutik-utik dasar
kepercayaan (akidah) yang telah berkembang dengan baik.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga
terjadinya peristiwa yang menimpa khalifa yang ketiga (Usman bin Affan), yaitu
peristiwa terbunuhnya khalifah itui, sejak terjadinya peristiwa itu, maka rusak
binasalah sokoguru (tiang agung) khalifah. Namun demikian, Al-Qur’an
tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya, berdiri dengan jaya di tempatnya
semula.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami (Alloh) yang menurunkan Al-Qur’an, dan
kamilah yang memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr/15: 9)
Peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga itu, telah
membuktikan pintu bagi manusia untuk melanggar batas-batas yang telah
ditetapkan oleh agama. Karena khalifah sesungguhnya terbunuh dengan cara yang
tidak sesuai sama sekali dengan hukum syara’. Maka timbullah dihati orang
banyak, nafsu-nafsu perseorangan, utama sekali dikalangan orang-orang yang
tidak ada pengaruh Iman dalam hati mereka. Sehingga dendam dan kemarahan
menguasai pikiran kebanyakan orang, lebih-lebih terhadap orang yang keterlaluan
(fanatik) dalam agama.
Kegiatan Abdullah bin Saba’, permulanya timbulnya bdi’ah
tentang akidah diantara orang-orang yang giat bekerja melancarkan fitnah
ke sana-sini, adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi yang masuk islam. Dengan
berpura-pura terlalu fanatik mencintai Ali Karamallahu Wajhahu (senoga Tuhab
memuliakan wajah beliau), ia mendakwahkan, bahwa Ali-lah sebenarnya yang berhak
menduduki kursi Khalifah unuk itu, ia menyerang Khalifah Usman dengan amat
sengitnya, sehingga menyebabkan ia dibang khalifah Usman. Kemudian ia pergi ke
kota Basrah, dan meniupkan Fitnah besar.
Kemudian pada Zaman pemerintahan Ali, dengan cara yang
amat mencolok, ia mempropagandakan pendidiriannya, sehingga Ali terpaksa
membuangnnya ke Madain. Namun begitu,
pendiriannya itu telah merupakan benih dari segala sengketa yang terjadi
disamping pendirian-pendirian yang sangat fanatik.
Lahirnya golongan Syia’ah dan Khawarij yang
manimbulkan pertikaian diantara mereka adalah “ikhtiar”, kebebasan kemauan
manusia dan perbuatannya dengan ikhtiar itu, dan masalah tentang orang yang
melakukan dosa besar, sedang ia tidak tobat. Dalam masalah tersebut, Hasan
al-Basni Wasil kemudian memisahkan diri dari gurunya, yang lantas mengajarkan
pokok-pokok Agama, baikyang diterimanya dari gurunya maupun pendapat sendiri,
bahwa seorang hamba, bebas melakukan perbuatan-perbuatannya yang ditimbulkan
oleh ilmu dan kemauannya. Golongan Jabbariyah membantah pendapat itu dan
berpendirian bahwa manusia dalam segela kehendak perbuatannya tak ubahnnya
seperti rantig-ranting pohon kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.
Semua kejadian itu berlangsung, sedang pihak pemerintah
Bani Maran tampaknya tidak ada keinginan untuk turut menyelesaikan atau
mengajak mereka untuk bersama-sama mencari titik perteemuan, yang dapt
memberikan kepuasan semua pihak. Akhirnya semua golongan berjalan
sendiri-sendir menurut kehendak hati masing-amsing, kecuali Khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Khalifah ini memerintahkan kepada az-zuhri supaya membukukan
(kodifikasi) segala hadits yang sampai kepadanya, dan ternyata beliaulah orang
pertama yang menghimpunkan hadits.
Lahirnya kaum Mu’tazilah sekitar masa
inilah tumbuhnya “Ilmu Tauhid” , tetapi belum begitu sempurna
berkembangnnya dan belum begitu tinggin mulutnya, dan mulailah pembicaraan
tentang “Ilmu Kalam”, yakni dengan menghubungkannya kepada pokok
pemikiran tentang kejadian alam, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an tentang itu.
Pendirian yang pertama dikuatkan oleh segolongan dari
khalifah-khalifak Abbasiyah, sedang keyakinan yang kedua, yakni yang
mengatakan, bahwa Al-Qur’an itu “azali” , dipegang teguh oleh sekelompok
yang bersandar pada nas-nas Al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
Kaum Kebatinan ditengah-tengah situasi yang timbulnya
sengketa diantara golongan-golongan yang memperturutkan golongan moderat atau
golongan yang teguh kepada lahir syariat belaka. Akan tetapi, namun semuanya
sepakat mengenai satu ketentuan, bahwa segala hukum agama wajib dipatuhi, baik
yang berkenaan dengan soal-soal ibadat, mu’amalat, ataupun kerohanian.
Komentar mereka sangat berlebihan dan memutar balikan
amal lahir menjadi rahasia batin. Kitab suci, mereka tafsirkan semaunya, jauh
dari nas ayat dan menyimpang dari mestinya. Mereka dikenal sebagai kaum
“Kebatinan” (Bathiniyah), atau “Ismailiyah”. Pendirian mereka di segala
lapangan merusak agama, menggocangkan keyakinan-keyakinan, menimbulkan fitnah
dan huru-hara yang termahsyur.
Syekh Abu Hasan al-Asy’ary pendiriannya
dinamakan “Mahzhab ahli Sunnah wal Jama’ah” Akhirnya lenyaplah dari
hadapan ulama-ulama terkemuka tadi dua macam unsur kekuatan yang besar.
Pertama, kekuatan dari pihak orang-orang yang berpegang teguh kepada lahir (letelijk)
ayat dan hadits; Kedua, kekuatan dari pihak orang-orang yang gemar kepada
dugaan-dugaan (hipotesis) pikiran belaka. Dua abad kemudia, kedua macam
golongan itu sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa kelompok kecil yang
terdapat di pinggir-pinggir negeri Islam.
Tujuan akhir dari ilmu ini adalah menegakkan suatu
kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu mengenal Alloh yang maha Tinggi
dengan segala sifst-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya. Membenarkan para
Rasul-Nya dengan keyakinan yang dapat menentramkan jiwa, dengan jalan berpegang
teguh kepada dalil, bukan semata-mata menyerah kepada taklid buta, sesuai
dengan yang ditunjukan oleh Al-Qur’an kepada kita.
Al-Qur’an melarang kita Taklid kepada apa yang
diceritakan oleh para leluhur tentang hikayat-hikayat bangsa purba, dan perbuatan
demikian itu sangat dicela oleh Al-Qur’an. Dan benarlah ucapan yang
mengucapkan: “Bahwa Taklid itu,
sebagaimana ia terdapat dalam perkara yang hak, ia terdapat dalam hal bahwa
kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan sendiri merasa keberatan terhadapnya,
karena memang taklid itu tidak dapat membawa kemajuan kepada umat manusia”.